Peran media sosial semakin diakui dalam mendongkrak kinerja bisnis ataupun merek. Efektivitas pemanfaatan tergantung pada bagaimana pemilik merek menggunakannya untuk produk yang dipasarkanya.
Starbucks, Dell, Levi’s dan Apple adalah sederet merek global yang sukses didorong oleh dahsyatnya media sosial. Terutama Apple, perusahaan yang didirikan oleh Steve Jobs, dapat dikatakan lahir, tumbuh, dan besar oleh media sosial. Tangan dingin Jobs mengemas produknya membuat Apple memiliki basis fans yang fanatik dan besar di media sosial. Sampai sekarang, konsumen fanatik itu selalu update dan menunggu gebrakan Apple, kendati sang pendiri sudah meninggal dunia.
Di Indonesia, Pocari Sweat, Nutrisari, Acer, XL, serta bisnis camilan keripik pedas Maicih juga berhasil mendongkrak bisnisnya lewat media sosial. Bahkan tak hanya merek, apa pun bisa sangat terkenal berkat media sosial, baik yang bersifat positif maupun sebaliknya, negatif. Yang positif seperti Raditya Dika. Kesuksesannya jadi penulis hebat berawal dari media sosial. Penulis buku Kambing Jantan yang kemudian difilmkan ini memiliki 1.989.712 follower di Twitternya. Yang terkenal karena sisi negatifnya, bisa dicontohkan Apriyani dalam kasus “Xenia Maut” beberapa waktu lalu.
Intinya, media sosial adalah tool penting saat ini yang wajib dimiliki oleh setiap pengusaha. Bagaimana tidak. Menurut Nukman Luthfi, pengamat media sosial dan pendiri Virtual Consulting, penetrasi penggunaan Internet di Indonesia setiap tahun meningkat. Tahun ini diperkirakan mencapai 60 juta pengguna dan di tahun 2015 akan ada 100 juta wow sungguh pasar yang menggiurkan untuk sebuah produk, belum lagi negara tetangga  Malaysia, Singapore dan Brunei yang masih serumpun dengan kita. Jumlah tersebut didominasi pengguna mobile Internet. Dari angka total tersebut, 45 juta adalah pengguna Facebook. Dikatakan Nukman, suatu lembaga riset menyatakan, 87% pengguna berusia 14 tahun ke atas. “Itu artinya, kalau pemegang merek ingin membangun merek dan kepentingan bisnis lainnya, tetapi tidak masuk ke FB, itu pemikiran yang salah,” ujarnya.
Nukman memperlihatkan fakta lainnya. Pengguna Twitter di Indonesia saat ini sekitar 8 juta orang. Indonesia menyumbangkan 15% pengguna Twitter dunia. Makanya, tak mengherankan, setiap ada kejadian apa pun, obrolan Twitter Indonesia selalu menjadi trending topic. “Ini artinya, ada sebuah media yang begitu potensial untuk dimanfaatkan bagi pemegang merek,” lanjut Nukman meyakinkan.
Jadi, menurutnya, banyak hal yang bisa dimanfaatkan via media sosial, mulai dari branding, kegiatan komunikasi pemasaran, hingga hubungan masyarakat (PR).Kita bisa belajar dari Obama orang kulit hitam pertama yang menggunakan media social dan memenangkan pemilu AS. Dalam branding, umpamanya, jika terjadi akumulasi komentar positif dari pengguna merek tertentu, hal itu selain dapat meningkatkan awareness dan ekuitas merek, besar kemungkinan juga ikut meningkatkan penjualan. “Media sosial mendorong setiap aktivitas komunikasi pemasaran menjadi lebih baik,” ujar Nukman yang meyakini media sosial merupakan media massal yang mampu memberikan dampak positif/negatif lebih cepat.
Tentu saja, peran pentingnya tidak bisa dilepas begitu saja dari tool pemasaran yang lain. Berbagai toolitu saling terintegrasi. Kalau sebuah merek/produk mau diluncurkan, media sosial digunakan untuk menyebar informasi yang sifatnya membuat teman atau pengikutnya menjadi penasaran. Dengan begitu, nama merek itu akan terdongkrak dan banyak dicari/ditunggu orang.
Walaupun terintegrasi, efektivitas pemanfaatan media sosial tetap tergantung pada pemilik merek. Media sosial bukan sekadar tool yang terkait dengan perantinya, seperti punya akun Facebook, Twitter, dsb. Tidak demikian. Pertama-tama, pemilik merek harus mengubah pola pikir pemasarannya yang selama ini bergerak vertikal menjadi horisontal. Media sosial menstimulasi komunikasi dua arah. Karena bersifat user generatedinvolvement dan participations, efektivitasnya tergantung pada kesiapan perusahaan/merek untuk menyediakan infrastrukturnya dan pola kerja yang berbeda dengan sebelumnya. “Hanya perusahaan yang maju dan open minded yang bisa menerima hal ini,” ungkap Yuswohady, konsultan Inventure, kepada SWA.
Berdasarkan pengamatan Enda Nasution, pakar media sosial yang juga seorang blogger, saat ini masih banyak perusahaan yang belum siap beradaptasi di era media sosial. Risikonya jelas, bahwa bisnis harus tetap relevan dengan konsumen dan stakeholder-nya. “Jika konsumen bisnis tersebut ada di media sosial, untuk stay relevant secara ideal, bisnis juga perlu ada di media sosial,” ujar Enda.
Dengan memasuki media sosial, dikatakan Enda Forwanda, para pelaku bisnis akan membaca arah konsumennya, dan mengetahui apa yang mereka inginkan. Mengingat terus bertambahnya pengguna media sosial saat ini, jelas media seperti ini begitu penting perannya bagi bisnis tersebut. Dengan begitu, bisnis tersebut dapat memonitor apa yang sedang nge-tren serta dibicarakan konsumen. Selain itu, media sosial juga bisa digunakan untuk membantu pemasaran, meningkatkan awareness produk atau jasa, mengembangkan produk, ataupun merekrut SDM. Salah satunya lewat media sosial Linkedin.
Lalu, bagaimana kiat memanfaatkan media sosial agar bisnis bisa sukses? Menurut Aswin Regawa, Agen Facebook Indonesia, ada empat hal yang perlu dicermati dalam menggunakan media sosial. Pertama, pengetahuan dan tujuan pembuatan akun media sosial. Jika belum memiliki konsep dan tujuan yang jelas, biasanya kurang berhasil mencapai target.
Kedua, pemegang merek harus merancang strategi pemasaran yang hendak dilakukan di jejaring sosial. Facebook adalah platform untuk audiens/fan.Dimana ada SISA = Share, Interest, Search & Action. Sementara website adalah platform buat merek itu sendiri. “Jadi, mesti cerdas mengolah pesan di media-media tersebut agar fan/audiens merasa dekat,” ungkap Aswin.
Ketiga, mengetahui insight konsumen/fan. Jika produknya minuman bersoda, pengelola (admin) harus tahu bagaimana meramu dan mendekatkan diri dengan fan-nya. Customer insight bisa dilihat dari segi usia fan, kebiasaannya di media sosial, demografi, apa yang disukai dan tidak, serta masih banyak lagi. Keempat, memiliki strategi jangka panjang dengan penerapan komunikasi pemasaran yang baik dan efektif. “Jangan membangun komunikasi yang taktis, tetapi harus bisa brand building. Ini kembali lagi ke poin 1-3,” katanya.
Intinya, jejaring sosial adalah salah satu tool komunikasi pemasaran. Jejaring sosial harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam setiap kegiatan, penyampaian pesan, atau kepentingan apa pun. “Branding yang sukses adalah mengolaborasikan marketing tools konvensional dengan marketing tools yang modern seperti jejaring sosial,” ujar Aswin menegaskan.
Tentunya, untuk membangun sosial media ada beberapa tahap yang mesti dilalui yang membutuhkan keseriusan untuk melakukannya. Misalnya, membentuk tim admin yang kompeten, menyediakan dukungan infrastruktur teknologi informasi yang memadai,memiliki costumer service untuk menangani keluhan, dan adanya kemauan sang CEO untuk turun tangan.
Yang terpenting dalam mengelola media sosial untuk bisnis adalah pemilihan tema atau isu. “Yang relevan saja, dan biasanya yang susah dilakukan brand adalah membuat konten yang seimbang, karena kalau terlalu banyak porsi brand-nya, nanti orang tidak mau baca,” ujar Enda.
Artinya, dalam media sosial disarankan agar merek tidak melakukan hard selling( semisal tag di facebook). Pesannya harus dibuat sehalus mungkin agar tidak terkesan seperti jualan langsung. “Diperlukan better conversation di media sosial, yaitu the art of selling without selling,” Yoris Sebastian, pengamat industri kreatif dari OMG, menambahkan.
Selain dilakukan sendiri oleh pihak pebisnis, dalam media sosial bisa juga digunakan endorser. “Ini tergantung pada industri atau target pasarnya. Untuk industri tertentu, seperti food and beverage, mungkin perlu ambassador sebagai role model konsumennya. Namun untuk industri pertambangan, untuk apa ada ambassador. Itu tidak penting,” tutur Wicaksono, Pemimpin Redaksi PlasaMSN dan media sosial yang terkenal dengan sebutan Ndorokakung.
Endorser – disebut juga buzzer – harus disesuaikan dengan kelompok kelasnya karena setiap buzzermemiliki pengikut masing-masing. Harus diperhatikan pula apakah buzzer ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap pengikutnya dan memiliki kreativitas yang cukup untuk membuat percakapan. Mungkin, untuk produk tertentu, dibutuhkan buzzer yang memiliki nama besar (selebritas atau tokoh publik) tanpa melihat kekuatan pengaruhnya terhadap pengikutnya. Kadang-kadang merek juga hanya ingin terlihat high profile, sehingga mereka menggunakan artis sebagai buzzer-nya. Namun, ada juga merek yang tidak memilih artis sebagai buzzer mereknya,, melainkan orang yang memiliki pengaruh yang cukup luas terhadap pengikutnya.
Dengan semakin diandalkannya media sosial sebagai salah satu sarana dalam berbagai macam aktivitas, termasuk urusan bisnis, percakapan di media sosial pun meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh pada munculnya ledakan informasi akibat dari percakapan-percakapan tersebut.
Untuk itu, diperlukan suatu cara yang dapat dapat memantau percakapan di media sosial, agar nantinya tidak memunculkan kebingungan dalam mencari apa yang sedang dipercakapkan orang di dunia maya, termasuk di media sosial.
Enda menyebutkan, ada beberapa langkah untuk memantau percakapan di media sosial. Bisa dilakukan secara manual, tetapi bisa juga dengan menggunakan beberapa tool. Saat ini ada produk dari luar negeri yang mampu memantau percakapan. Sebut saja, radian6. “Untuk Indonesia kami juga sedangdevelop, namanya Salingsilang Indeks yang sudah diluncurkan 15 Maret lalu. Intinya, kami mengumpulkan percakapan di media sosial dan kemudian menganalisis berdasarkan data yang ada, seperti lokasi, jumlah link, dan siapa yang bicara,” kata Enda.
Eva Arisuci Rudjito, Direktur Pembangunan Merek Skin & Cleansing PT Unilever Indonesia Tbk., mengatakan bahwa merek harus selalu mengikuti dan cepat tanggap terhadap pembicaraan yang sedang terjadi yang menyangkut mereknya. “Makanya, kami harus tetap fokus dan konsisten terhadapkey message kami,” katanya.
Yang pasti, key message yang disampaikan di semua kanal media sosial harus konsisten serta relevan untuk kehidupan target pasarnya. Pasalnya, di medium ini, komunikasi berjalan dua arah, konsumen punya power bagaimana mereka menyikapi key message yang disampaikan Unilever.
Faktor penting lainnya, pihaknya harus menjadi brand with a point of view, tidak hanya menjual produk, tetapi punya stand point. “Contohnya, Magnum stands for pleasure atau Lifebuoy for protection against germs,” ucap Eva mencontohkan.
Ditambahkan Hardianto Atmadja, VP Commercials PT Garudafood , bahwa tema pembicaraan dalam media sosial yang dibentuk harus mencerminkan target pasar sehingga menarik minat follower karenafollower tidak bisa dibeli. “Oleh karena itu, jangan membeli follower karena hasilnya pasti tidak memuaskan dan penuh rekayasa,” ia menegaskan.
Menurut Hardianto, jika ingin membentuk media sosial, terlebih dulu harus mempunyai tema yang bagus, konten yang sesuai dengan target pasar , serta admin yang mempunyai kemampuan mengelola media sosial dengan baik. Apa yang diungkap Hardianto bukanlah isapan jepol. Pasalnya, saat ini marak jual-beli akun dan follower berharga selangit untuk mendongkrak popularitas sebuah merek atau perorangan yang ingin membangun personal branding.
Berbicara tentang membangun personal branding di sosial media, Wicaksono memberikan tipnya. Pertama, present. Artinya, seseorang harus eksis di media sosial jika ingin membangun brand. Kedua,konsisten dalam menggunakan berbagai saluran media sosial. Misalnya, menggunakan foto atau gambar yang sama untuk profile picture di Twitter dan di Facebook. Gaya percakapannya juga harus konsisten. Misalnya, ketika di Twitter ia selalu menggunakan gaya konyol atau melucu, maka begitu juga yang harus dilakukan di Facebook.
Ketiga, berlaku jujur untuk mendapatkan kepercayaan. Keempat, memiliki kompetensi dan integritas sebagai nilai tambah.
Setelah semua kiat-baik dilakukan di media sosial, tak pelak, yang dicari kemudian adalah ukuran kesuksesan yang dicapai suatu merek dalam penggunaan media sosial. Untuk yang satu ini, Enda menjelaskan, tingkat kesuksesan tersebut tergantung pada tujuan setiap merek memakai media sosial. “Tergantung pada tujuannya, bisa untuk meningkatkan awareness, mengumpulkan follower/audiens,leadssales, mengubah persepsi, jumlah traffic yang disalurkan ke website, jumlah registrasi kewebsite, jumlah engagement, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Yang jelas, maraknya media sosial diyakini Nukman sebagai fenomena yang tidak akan pernah mati dan tidak akan menemui titik jenuh. “Mungkin yang berubah nanti adalah salurannya saja,” katanya. Dulu Friendster, lalu Skype, Facebook, Twitter dan Google+. Bisa jadi, tahun-tahun ke depan akan ada jejaring sosial baru lagi!!!
FUNGSI MEDIA SOSIAL
A. Kiat Sukses Mendongkrak Merek
(1) Memiliki pengetahuan dan tujuan pembuatan akun media sosial. Jika belum memiliki konsep dan tujuan yang jelas, akan kurang berhasil mencapai target.
 (2) Merancang strategi pemasaran yang hendak dilakukan di jejaring sosial. Facebook adalah platform untuk audiens/fan, sementara website adalah platform buat merek itu sendiri.
 (3) Mengetahui insight konsumen/fanCustomer insight bisa dilihat dari segi usia, kebiasaannya di media sosial, demografi, apa yang biasa disukai dan tidak, dan masih banyak lagi.
 (4) Memiliki strategi jangka panjang dengan penerapan komunikasi pemasaran yang baik dan efektif. Jangan membangun komunikasi yang taktis, tetapi harus bisa brand building. Ini kembali lagi ke poin 1-3.
 (5) Menyiapkan SDM yang mencukupi guna menciptakan tim pemasaran digital yang tangguh.
B. Kiat Sukses Personal Branding
 (1) Present; artinya , seseorang harus eksis di media sosial jika ingin membangun brand.
 (2) Konsisten dalam menggunakan berbagai saluran media sosial. Misalnya, memakai foto atau gambar yang sama untuk profile picture di Twitter dan di Facebook. Kemudian, gaya percakapannya juga harus konsisten. Misalnya, ketika di Twitter selalu menggunakan gaya konyol atau melucu, maka begitu juga yang harus dilakukan di Facebook.
 (3) Berlaku jujur untuk mendapatkan kepercayaan. Artinya, komunikasi yang disampaikan harus benar dan terpercaya. Jangan sampai menggunakan opini yang tidak jelas asal usulnya.
 (4) Memiliki kompetensi dan integritas sebagai nilai tambah.
Sumber : https://hendraxsap.wordpress.com/2012/05/09/peran-media-sosial-dalam-branding-produk-dan-strategi-pemasaran/

Seberapa pahamkah anda terhadap cyber branding yang baik untuk sebuah e-business? Kesuksesan dalam menerapkan brand yang menarik sangat erat kaitannya dengan kesuksesan bisnis anda. Brand adalah hal pertama yang dikenal oleh calon pelanggan, brand yang baik dan menarik akan sangat diingat dan begitu pun sebaliknya. Cyber branding adalah penerapan cyber marketing untuk keperluan pembangunan dan penciptaan merek di dunia online. Cyber marketing sendiri merupakan pembangunan dan pencitraan merek di dunia online yang merupakan gabungan dari kemampuan marketing komunikasi, pemahaman online behaviour dan online media serta penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu cyber marketing juga dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari prinsip marketing tradisional dan metode pemasaran interaktif yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Penggunaan internet yang semakin banyak diseluruh lapisan masyarakat dan daya saing yang sangat besar menuntut perusahaan untuk ikut mempertimbangkan promosi lewat internet, disinilah cyber marketing atau cyber branding berperan untuk menarik minat masyarakat, sehingga media internet dipilih menjadi media untuk mem-branding perushaan dan produk karena saat ini hampir semua orang terhubung dengan internet, dengan internet pun mereka berharap bisa lebih baik dalam mencapai traget segmentasi perusahaan dan produknya. Terdapat banyak sekali pilihan dalam melakukan cyber branding di media internet, seperti website, facebook fan page, twitter, youtube dll. Untuk membangun cyber branding tidak lah bisa sembarangan, tim dari marketing, public relations dan sales harus benar-benar mempersiapkan pesan yang ingin dicapai serta memilih media yang tepat untuk dapat mencapai target audience Dalam melakukan cyber branding dan cyber marketing  setiap perusahaan memiliki cara dan karakter yang berbeda dalam mencapai audiens-nya.
Erat kaitannya antara cyber marketing dan cyber branding, untuk menghasilkan strategi dan teknik marketing online yang berhasil. Pada hakikatnya, cyber marketing bukanlah dunia orang – orang IT, namun menjadi dunia bagi orang – orang marketing, sales, dan public relation. Fungsi IT hanyalah sebagai bagian dalam mewujudkan ide – ide tim marketing, sales, dan public relation ke dalam media internet. Dalam internet, tidak ada batasan jarak dan waktu, semua pelanggan akan datang dan merespon terhadap apa yang anda suguhkan dalam website anda tanpa dapat kita kontrol, sehingga menjadi sangat penting bagaimana kita bisa membuka mindset dari para pengunjung bahwa apa yang kita tawarkan memiliki nilai jual yang sebagaimana yang diharuskan dalam marketing online.
Bagaimana membangun sebuah online branding yang baik?
  1. Cari tahu apa yang diinginkan dan apa yang menarik bagi pelanggan saat ini terutama pelanggan di dunia maya
  2. Ciptakan brand yang mudah diingat, tulisan atau gambar yang tidak rumit dan berkelas.
  3. Warna brand mencerminkan visi misi perusahaan dan kesesuaian dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Warna desain website juga seharusnya serasi dengan brand ini.
  4. Selalu sediakan informasi yang up to date dan bermanfaat bagi pengunjung
  5. Tonjolkan kualitas brand dan kekuatan brand agar semakin diingat oleh pelanggan
  6. Usahakan untuk terus menjaga nama baik brand dan terus lakukan inovasi untuk produk dan kualitasnya.
  7. Ukuran brand jangan sampai mengganggu pengunjung ketika browsing, berikut juga jangan pilih warna yang terlalu mencolok agar pengunjung nyaman berlama lama di website anda
  8. Memberikan nama yang unik untuk setiap produk juga merupakan cyber branding yang menarik pengunjung.
Referensi :
Cyber Branding PT. Coca Cola Amatil Indonesia

"Branding is a seller's promise to deliver a spesific set of features, benefits and services consistent to the buyer" -Philip Kotler (2001:188). Cyber branding adalah penerapan cyber marketing untuk keperluan pembangunan dan penciptaan merek. Cyber marketing sendiri merupakan pembangunan dan pencitraan merek di dunia online yang merupakan gabungan dari kemampuan marketing komunikasi, pemahaman online behaviour dan online media serta penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu cyber marketing juga dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari prinsip marketing tradisional dan metode pemasaran interaktif yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Dalam online marketing lewat dunia maya, ada orang yang menyebut cyber marketing sebagai internet marketing atau disingkat sebagai e-marketing, namun juga bisa disebut sebagai online marketing. Pada hakikatnya, cyber marketing bukanlah dunia orang-orang TI, sebenarnya hal ini merupakan dunia bagi orang-orang marketing/sales/public relations. Beranjak dari konsep marketing tradisional terdapat sebuah kutipan,  "95% binis internet murni sudah akan bangkrut sebelum ulang tahunnya yang kelima, sekitar 66%-78% persen situs website tidak lebih daris sekedar brosur pasif yang tidak atau sedikit dikunjungi dan tidak mampu menangkap prospek". 

Melalui internet, bisinis kecil dapat terlihat besar dan bisnis besar dapat terlihat kecil tergantung pada seberapa besar mindsharenya. Hal yang sama terjadi dibanyak perusahaan, sehingga website perusahaan hanya menjadi sebuah brosur pasif yang tidak atau sedikit dikunjungi dan tidak mampu menagkap prospek. Pada hakikatnya dalam sebuah perushaan yang memegang tanggung jawab atas cyber branding adalah tim marketing/sales/public relations. Disini fungsi tim TI hanyalah sebagai bagaian yang mewujudkan ide-ide tim marketing/sales/public relations kedalam media internet. 

Saat ini, hampir semua perusahaan di dunia dan indonesia dalam mem-branding perusahaan dan produknya menggunakan metode marketing tradisional dan ditambahkan dengan teknologi internet. Media internet dipilih menjadi media untuk mem-branding perushaan dan produk karena saat ini hampir semua orang terhubung dengan internet, dengan internet pun mereka berharap bisa lebih baik dalam mencapai traget segmentasi perusahaan dan produknya. Terdapat banyak sekali pilihan dalam melakukan cyber branding di media internet, seperti website, facebook fan page, twitter, youtube dll. Untuk membangun cyber branding tidak lah bisa sembarangan, tim dari marketing, public relations dan sales harus benar-benar mempersiapkan pesan yang ingin dicapai serta memilih media yang tepat untuk dapat mencapai target audience Dalam melakukan cyber branding dan cyber marketing  setiap perusahaan memiliki cara dan karakter yang berbeda dalam mencapai audiens-nya. 

Disini kita akan membahas tentang upaya cyber branding yang dilakukan oleh PT. Coca Cola Amatil Indonesia yang merupakan perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan produk coca-cola. Dalam mengkomunikasikan informasi perusahaan, produk dan kegiatannya, PT. Coca Cola Amatil menggunakan website dengan alamat www.coca-colaamatil.co.id . Ketika mengakses halaman website ini, sudah jelas terlihat ciri khas dari perusahaan ini, design website didominasi dengan warna merah yang merupakan warna perushaan PT. Coca Cola Amatil Indonesia. Pemilihan warna dan design ini tentulah merupakan salah satu upaya dari cyber branding coca cola yang dimana mereka berupaya untuk menunjukkan identitas perushaannya melalui hal tersebut. 

Dalam websitenya, PT.Coca Cola Amatil Indonesia cukup informatif, dalam websitenya, terdapat banyak konten baik dari informasi perushaan, tentang produk, peluang karir, kontak tim corporate communication, coca cola plant tour serta produksi. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepuasan informasi pada publik esternal PT. Coca Cola Amatil Indonesia serta membangun branding perushaan dan produknya. 

Dalam melakukan cyber branding yang perlu diperhatikan bukan hanya mengenai ketepatan dalam mencapai target audiens, tapi juga bagaimana perusahaan mendapatkan perhatian publiknya, meningkatkan kepercayaan publik, membangun dan memlihara hubungan dengan publik eksternal hingga sampai pada tujuan akhir adalah mendapatkan profit dan komsumen yang loyal terhadap perusahaan. Namun, cyber branding bukanlah satu satunya cara untuk mendapatkan branding dan reputasi yang baik dimata publik. Upaya branding dan membangun reputasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode tradisional yaitu menggunakan media massa. Pada akhirnya jika perushaan mampu mekasimalkan keduanya maka akan lebih baik. Untuk membangun dan mempertahankan reputassi bukanlah hal yang dapat dicapai dan dilihat hasilnya dalam waktu singkat, dibutuhkan proses yang relatif lama dan berkelanjutan. Setelah mendapatkan branding dan reputasi yang diinginkan, tugas praktisi PR disini adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan hal tersebut.

Whats in your bag, PR Girl
Slowly she drifted to the southeast, rising higher and higher as the flames ate away her wooden parts and diminished the weight upon her. Ascending to the roof of the building I watched her for hours, until finally she was lost in the dim vistas of the distance. The sight was awe-inspiring in the extreme as one contemplated this mighty floating funeral pyre, drifting unguided and unmanned through the lonely wastes of the Martian heavens; a derelict of death and destruction, typifying the life story of these strange and ferocious creatures into whose unfriendly hands fate had carried it.

Much depressed, and, to me, unaccountably so, I slowly descended to the street. The scene I had witnessed seemed to mark the defeat and annihilation of the forces of a kindred people, rather than the routing by our green warriors of a horde of similar, though unfriendly, creatures. I could not fathom the seeming hallucination, nor could I free myself from it; but somewhere in the innermost recesses of my soul I felt a strange yearning toward these unknown foemen, and a mighty hope surged through me that the fleet would return and demand a reckoning from the green warriors who had so ruthlessly and wantonly attacked it.

Close at my heel, in his now accustomed place, followed Woola, the hound, and as I emerged upon the street Sola rushed up to me as though I had been the object of some search on her part. The cavalcade was returning to the plaza, the homeward march having been given up for that day; nor, in fact, was it recommenced for more than a week, owing to the fear of a return attack by the air craft.

Lorquas Ptomel was too astute an old warrior to be caught upon the open plains with a caravan of chariots and children, and so we remained at the deserted city until the danger seemed passed.

As Sola and I entered the plaza a sight met my eyes which filled my whole being with a great surge of mingled hope, fear, exultation, and depression, and yet most dominant was a subtle sense of relief and happiness; for just as we neared the throng of Martians I caught a glimpse of the prisoner from the battle craft who was being roughly dragged into a nearby building by a couple of green Martian females.

And the sight which met my eyes was that of a slender, girlish figure, similar in every detail to the earthly women of my past life. She did not see me at first, but just as she was disappearing through the portal of the building which was to be her prison she turned, and her eyes met mine. Her face was oval and beautiful in the extreme, her every feature was finely chiseled and exquisite, her eyes large and lustrous and her head surmounted by a mass of coal black, waving hair, caught loosely into a strange yet becoming coiffure. Her skin was of a light reddish copper color, against which the crimson glow of her cheeks and the ruby of her beautifully molded lips shone with a strangely enhancing effect.

She was as destitute of clothes as the green Martians who accompanied her; indeed, save for her highly wrought ornaments she was entirely naked, nor could any apparel have enhanced the beauty of her perfect and symmetrical figure.

As her gaze rested on me her eyes opened wide in astonishment, and she made a little sign with her free hand; a sign which I did not, of course, understand. Just a moment we gazed upon each other, and then the look of hope and renewed courage which had glorified her face as she discovered me, faded into one of utter dejection, mingled with loathing and contempt. I realized I had not answered her signal, and ignorant as I was of Martian customs, I intuitively felt that she had made an appeal for succor and protection which my unfortunate ignorance had prevented me from answering. And then she was dragged out of my sight into the depths of the deserted edifice.

As I came back to myself I glanced at Sola, who had witnessed this encounter and I was surprised to note a strange expression upon her usually expressionless countenance. What her thoughts were I did not know, for as yet I had learned but little of the Martian tongue; enough only to suffice for my daily needs.

As I reached the doorway of our building a strange surprise awaited me. A warrior approached bearing the arms, ornaments, and full accouterments of his kind. These he presented to me with a few unintelligible words, and a bearing at once respectful and menacing.[full-post]

fashionWeddingInteriorflowerother fashioncars
This midnight-spout had almost grown a forgotten thing, when, some days after, lo! at the same silent hour, it was again announced: again it was descried by all; but upon making sail to overtake it, once more it disappeared as if it had never been. And so it served us night after night, till no one heeded it but to wonder at it. Mysteriously jetted into the clear moonlight, or starlight, as the case might be; disappearing again for one whole day, or two days, or three; and somehow seeming at every distinct repetition to be advancing still further and further in our van, this solitary jet seemed for ever alluring us on.

Nor with the immemorial superstition of their race, and in accordance with the preternaturalness, as it seemed, which in many things invested the Pequod, were there wanting some of the seamen who swore that whenever and wherever descried; at however remote times, or in however far apart latitudes and longitudes, that unnearable spout was cast by one self-same whale; and that whale, Moby Dick. For a time, there reigned, too, a sense of peculiar dread at this flitting apparition, as if it were treacherously beckoning us on and on, in order that the monster might turn round upon us, and rend us at last in the remotest and most savage seas.

These temporary apprehensions, so vague but so awful, derived a wondrous potency from the contrasting serenity of the weather, in which, beneath all its blue blandness, some thought there lurked a devilish charm, as for days and days we voyaged along, through seas so wearily, lonesomely mild, that all space, in repugnance to our vengeful errand, seemed vacating itself of life before our urn-like prow.

But, at last, when turning to the eastward, the Cape winds began howling around us, and we rose and fell upon the long, troubled seas that are there; when the ivory-tusked Pequod sharply bowed to the blast, and gored the dark waves in her madness, till, like showers of silver chips, the foam-flakes flew over her bulwarks; then all this desolate vacuity of life went away, but gave place to sights more dismal than before.

Close to our bows, strange forms in the water darted hither and thither before us; while thick in our rear flew the inscrutable sea-ravens. And every morning, perched on our stays, rows of these birds were seen; and spite of our hootings, for a long time obstinately clung to the hemp, as though they deemed our ship some drifting, uninhabited craft; a thing appointed to desolation, and therefore fit roosting-place for their homeless selves. And heaved and heaved, still unrestingly heaved the black sea, as if its vast tides were a conscience; and the great mundane soul were in anguish and remorse for the long sin and suffering it had bred.

Cape of Good Hope, do they call ye? Rather Cape Tormentoto, as called of yore; for long allured by the perfidious silences that before had attended us, we found ourselves launched into this tormented sea, where guilty beings transformed into those fowls and these fish, seemed condemned to swim on everlastingly without any haven in store, or beat that black air without any horizon. But calm, snow-white, and unvarying; still directing its fountain of feathers to the sky; still beckoning us on from before, the solitary jet would at times be descried.

During all this blackness of the elements, Ahab, though assuming for the time the almost continual command of the drenched and dangerous deck, manifested the gloomiest reserve; and more seldom than ever addressed his mates. In tempestuous times like these, after everything above and aloft has been secured, nothing more can be done but passively to await the issue of the gale. Then Captain and crew become practical fatalists. So, with his ivory leg inserted into its accustomed hole, and with one hand firmly grasping a shroud, Ahab for hours and hours would stand gazing dead to windward, while an occasional squall of sleet or snow would all but congeal his very eyelashes together. Meantime, the crew driven from the forward part of the ship by the perilous seas that burstingly broke over its bows, stood in a line along the bulwarks in the waist; and the better to guard against the leaping waves, each man had slipped himself into a sort of bowline secured to the rail, in which he swung as in a loosened belt. Few or no words were spoken; and the silent ship, as if manned by painted sailors in wax, day after day tore on through all the swift madness and gladness of the demoniac waves. By night the same muteness of humanity before the shrieks of the ocean prevailed; still in silence the men swung in the bowlines; still wordless Ahab stood up to the blast. Even when wearied nature seemed demanding repose he would not seek that repose in his hammock. Never could Starbuck forget the old man's aspect, when one night going down into the cabin to mark how the barometer stood, he saw him with closed eyes sitting straight in his floor-screwed chair; the rain and half-melted sleet of the storm from which he had some time before emerged, still slowly dripping from the unremoved hat and coat. On the table beside him lay unrolled one of those charts of tides and currents which have previously been spoken of. His lantern swung from his tightly clenched hand. Though the body was erect, the head was thrown back so that the closed eyes were pointed towards the needle of the tell-tale that swung from a beam in the ceiling.* [right-side]


"In spite of all these diseases, and of all the new ones that continued to arise, there were more and more men in the world. This was because it was easy to get food. The easier it was to get food, the more men there were; the more men there were, the more thickly were they packed together on the earth; and the more thickly they were packed, the more new kinds of germs became diseases. There were warnings. Soldervetzsky, as early as 1929, told the bacteriologists that they had no guaranty against some new disease, a thousand times more deadly than any they knew, arising and killing by the hundreds of millions and even by the billion. You see, the micro-organic world remained a mystery to the end. They knew there was such a world, and that from time to time armies of new germs emerged from it to kill men.

"And that was all they knew about it. For all they knew, in that invisible micro-organic world there might be as many different kinds of germs as there are grains of sand on this beach. And also, in that same invisible world it might well be that new kinds of germs came to be. It might be there that life originated—the 'abysmal fecundity,' Soldervetzsky called it, applying the words of other men who had written before him...."

It was at this point that Hare-Lip rose to his feet, an expression of huge contempt on his face.
"Granser," he announced, "you make me sick with your gabble. Why don't you tell about the Red Death? If you ain't going to, say so, an' we'll start back for camp."

The old man looked at him and silently began to cry. The weak tears of age rolled down his cheeks and all the feebleness of his eighty-seven years showed in his grief-stricken countenance.

"Sit down," Edwin counselled soothingly. "Granser's all right. He's just gettin' to the Scarlet Death, ain't you, Granser? He's just goin' to tell us about it right now. Sit down, Hare-Lip. Go ahead, Granser."

The old man wiped the tears away on his grimy knuckles and took up the tale in a tremulous, piping voice that soon strengthened as he got the swing of the narrative.

"It was in the summer of 2013 that the Plague came. I was twenty-seven years old, and well do I remember it. Wireless despatches—"
Hare-Lip spat loudly his disgust, and Granser hastened to make amends.

"We talked through the air in those days, thousands and thousands of miles. And the word came of a strange disease that had broken out in New York. There were seventeen millions of people living then in that noblest city of America. Nobody thought anything about the news. It was only a small thing. There had been only a few deaths. It seemed, though, that they had died very quickly, and that one of the first signs of the disease was the turning red of the face and all the body. Within twenty-four hours came the report of the first case in Chicago. And on the same day, it was made public that London, the greatest city in the world, next to Chicago, had been secretly fighting the plague for two weeks and censoring the news despatches—that is, not permitting the word to go forth to the rest of the world that London had the plague. [left-side]
Diberdayakan oleh Blogger.